banner 728x250

Memahami Sejarah Sunni dan Syiah

Ilustrasi Sunni dan Syiah
Ilustrasi Sunni dan Syiah
banner 120x600
banner 728x90

ISLAM adalah agama yang memiliki dua aliran utama, yakni Sunni dan Syiah. Perpecahan antara keduanya bermula dari peristiwa penting yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M.

Akibat dari peristiwa ini, muncul perbedaan pendapat yang mendalam mengenai siapa yang seharusnya memimpin umat Islam selanjutnya. Sunni percaya bahwa pemimpin, atau khalifah, harus dipilih melalui kesepakatan komunitas, sedangkan Syiah berpendapat bahwa hanya keturunan Nabi Muhammad yang berhak menjadi pemimpin umat Islam.

Perdebatan seputar kepemimpinan ini tidak hanya berfokus pada hak otoritas, tetapi juga mencakup pandangan teologis dan praktik ritual yang berbeda antara Sunni dan Syiah.

Dalam sejarahnya, aliran Sunni memiliki banyak pemimpin yang bergantung pada sistem syura atau konsultasi, sementara Syiah mengikuti garis keturunan dari Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad.

Perdebatan tentang kepemimpinan ini melahirkan berbagai konflik yang berlanjut sepanjang sejarah Islam, yang menciptakan ketegangan di antara keduanya.

Penting untuk memahami bagaimana perbedaan ini berakar dari latar belakang sejarah, karena faktor-faktor ini terus memengaruhi hubungan antara Sunni dan Syiah hingga saat ini.

Di berbagai belahan dunia, pengaruh perpecahan ini dapat terlihat dalam aspek sosial, politik, dan keagamaan. Kesadaran akan akar perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak hanya bermanfaat untuk dialog antaragama, tetapi juga untuk membangun toleransi di kalangan umat Muslim itu sendiri.

Memahami sejarah di balik perbedaan ini menjadi langkah awal yang penting untuk menciptakan unit dan kohesi di dalam komunitas umat Islam global.

Keyakinan dan Prinsip Dasar: Tanda-tanda Perbedaan

Perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak hanya terlihat dalam praktik ibadah tetapi juga pada keyakinan dan prinsip dasar mereka. Salah satu aspek paling mencolok adalah pandangan terhadap kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Sunni percaya bahwa kepemimpinan seharusnya dipegang oleh konsensus umat, yang mana khalifah pertama, Abu Bakar, diakui sebagai pemimpin yang sah. Sebaliknya, Syiah berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan hak keturunan Nabi, dengan Ali bin Abi Talib, sepupu dan menantu Nabi, sebagai penerus yang sah.

Kepercayaan ini menciptakan dua jalur yang berbeda dalam sejarah dan pemahaman mereka tentang kepemimpinan umat Islam.

Dalam hal kedudukan Imam, Syiah menempatkan Imam sebagai figur yang memiliki otoritas spiritual dan ilahi. Mereka meyakini bahwa Imam adalah infalibil dan terpilih oleh Allah, memiliki wawasan yang lebih dalam mengenai ajaran agama.

Sebaliknya, bagi Sunni, posisi imam adalah lebih kepada pemimpin dalam shalat dan komunitas tanpa atribut ilahi. Ini menciptakan perbedaan signifikan dalam hal bagaimana pemimpin agama dihormati dan diikuti di masing-masing aliran.

Sumber-sumber hukum Islam juga menjadi salah satu perbedaan mendasar lainnya. Sunni mengikuti Quran dan Hadis yang dianggap sahih, dan mengakui ijtihad sebagai cara berpegang pada hukum Islam. Di sisi lain, Syiah menganggap Quran dan Hadis sebagai sumber hukum utama, tetapi juga memberikan penekanan besar pada ajaran dan pengajaran Imam mereka, yang dianggap sebagai sumber hikmah tambahan.

Pendekatan ini mengarah pada interpretasi yang berbeda terhadap teks-teks agama, berdampak pada praktik ibadah dan kehidupan sehari-hari pemeluk masing-masing aliran.

Perbedaan Praktik Ibadah: Rites dan Ritual

Praktik ibadah antara Sunni dan Syiah menunjukkan perbedaan yang signifikan, meski kedua aliran ini sama-sama berpegang pada prinsip dasar ajaran Islam. Salah satu perbedaan utama terletak pada pelaksanaan salat.

Umat Sunni umumnya melaksanakan salat lima waktu dengan cara yang telah ditetapkan, sedangkan umat Syiah cenderung menggabungkan beberapa salat, sehingga mereka sering kali hanya melaksanakan tiga waktu salat dalam praktik sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu refleksi dari perbedaan tradisi dan interpretasi terhadap ajaran-ajaran Nabi Muhammad.

Puasa juga menjadi fokus penting dalam perbedaan antara Sunni dan Syiah. Kedua aliran melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, namun pada saat Perayaan Idul Fitri, Sunni merayakannya dengan berfokus pada ibadah salat dan kegiatan sosial.

Sementara, umat Syiah lebih mengenal perayaan yang kental dengan nuansa pengorbanan, seperti mengenang peristiwa tragis di Karbala pada bulan Muharram, yang berisi berbagai ritual mengenang syahidnya Imam Husain.

Perayaan Hari Raya Idul Adha juga menampilkan perbedaan yang menarik. Baik Sunni maupun Syiah melaksanakan penyembelihan hewan kurban namun dengan perbedaan di dalam doa dan tata cara. Umat Syiah menekankan pentingnya mengikuti jejak para Imam dalam pelaksanaan kurban.

Tradisi-tradisi unik ini, seperti majlis duka dan perayaan asyura, memberikan warna tersendiri dalam praktik keagamaan mereka.

Pengaruh budaya sangat mempengaruhi keunikan praktik ibadah yang dimiliki oleh masing-masing aliran. Banyak faktor historis, sosial, dan politik berperan dalam pembentukan identitas serta cara beribadah, menciptakan keragaman yang menarik dalam komunitas Muslim global. Perbedaan nyata dalam praktik ibadah antara sunni dan syiah menggambarkan kekayaan tradisi dalam Islam, sekaligus menunjukkan keberagaman cara umat berkomunikasi dengan Sang Pencipta.

Konflik dan Hubungan Antar Aliran

Sepanjang sejarah, konflik antara Sunni dan Syiah telah menjadi salah satu isu yang paling mendalam dan kompleks dalam lingkungan Islam. Pertikaian ini bermula setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M, terutama terkait siapa yang seharusnya menjadi penerus kepemimpinan umat Islam.

Ketidaksetujuan ini melahirkan dua aliran utama, dengan Sunni menganggap bahwa pemimpin harus dipilih berdasarkan konsensus komunitas, sementara Syiah meyakini bahwa kepemimpinan harus berasal dari keturunan Nabi.

Ketegangan antara kedua aliran ini tidak hanya berlanjut pada aspek teologi, tetapi juga mengakibatkan konflik sosial dan politik yang sering kali berdampak besar pada stabilitas negara-negara Islam.

Contoh signifikan dari ketegangan ini terjadi pada masa Perang Saudara di Irak pasca invasi AS pada tahun 2003, di mana kekerasan sektarian antara Sunni dan Syiah meningkat drastis.

Kerusuhan yang muncul membawa dampak bagi kehidupan puluhan ribu orang, menunjukkan bahwa perbedaan interpretasi dalam Islam dapat berujung pada tragedi kemanusiaan.

Namun, tidak semua interaksi antara Sunni dan Syiah diwarnai oleh konflik. Terdapat juga banyak upaya untuk menciptakan dialog dan membangun jembatan pemahaman antara kedua aliran ini, terutama melalui forum-forum internasional dan kerja sama antar lembaga masyarakat sipil.

Di era modern ini, tantangan untuk memperkuat hubungan antara Sunni dan Syiah tetap ada, sering dipicu oleh faktor politik dan sosial yang kompleks. Namun, banyak individu dan organisasi berusaha meningkatkan toleransi dan pemahaman di antara kedua aliran.

Konsep ukhuwah Islamiyah, atau persaudaraan dalam Islam, menjadi dasar untuk membangun hubungan harmonis dalam masyarakat yang plural. Dengan adanya dialog dan upaya kolaboratif, diharapkan perbedaan antara Sunni dan Syiah dapat menjadi sumber kekuatan untuk memperkaya tradisi Islam dan memperkokoh ikatan di antara umat manusia.

Dalam konteks ini, menghargai perbedaan bukan hanya diinginkan, tetapi sangat dibutuhkan untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis. Wallahualam.*

*Artikel ini diterbitkan menggunakan teknologi IA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *